Kamis, 18 Juni 2009

Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat

Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya tayangan kekerasan di televisi dewasa ini seperti SERGAP di RCTI, PATROLI di Indosiar dan SIDIK di TPI merupakan fenomena baru dalam tayangan televisi di Indonesia. Dalam format tayangannya, program siaran berbau kekerasan tersebut mewabah ke stasiun televisi lainnya. Bahkan TPI yang mengusung misi sebagai televisi pendidikan juga turut membuat format tayangan ini. Awalnya menurut Indira Hadi Purnama pemimpin redaksi Patroli Indosiar tujuan program Patroli milik statsiun televisinya untuk menghilangkan jenuh masyarakat (komunikan). Kejenuhan masyarakat selama ini yang selalu di sodorkan dengan berita-berita politik ini yang di sebut Indira sebagai proses pembaharuan program tayangan dan mencuri pasar media.
Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiuntelevisi kreative dan melahirkan program siaran yang baru. Maka, Indira memilih untuk membuat tayangan Patroli dengan mengedepankan berita-berota kriminal. Tayangan ini sendiri di liput secara langsung oleh wartawan stasiun televisi tersebut. Hubungan antara aparat kepolisian dan wartawan yang di tempatkan dalam desk berita kriminal sejauh ini sangat harmonis. Setiap kali akan melakukan penangkapan, polisi akan memberitahukan kepada wartawan. Dalam tayangannya, seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh Polisi. Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan menembak pelaku tersebut. Seluruh proses penggerebekan, pengejaran dan penembakan pelaku kriminal ini di rekam oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak jarang bercak darah bekas penembakan terlihat jelas oleh masyarakat sebagai penonton setia tayangan tersebut. Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti ini dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Sedikitnya delapan program televisi bertema kriminalitas, dengan berbagai nama program, ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya. Bukan hanya itu, tayangan kekerasan lainnya seperti Smack Down di LatiVi juga merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan yang di tampilkan oleh media massa di Indonesia. Tayangan Smack Down sendiri awalnya tahun 2000 telah di siarkan oleh stasiun televisi TPI.
Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas, di samping infotainment dan tayangan bertema klenik-supranatural, menjadi primadona dengan menempati ranking-ranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak. Mencermati fenomena ini, jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada masyarakat. Pengakuan seorang Pelaku Pencurian Kendaraan bermotor di SelamanYigyakakarta kepada Indira Pemimpin Redaksi Patroli Indosiar menyebutkan dirinya menggunakan motiv operandi yang di siarkan oleh Patroli menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat di bantahkan oleh siapapun. Kenyataan ini lah yang membuat risau masyarakat di seluruh Indonesia terhadap tayangan kekerasan tersebut.
Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara "keras".
Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton. Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak ada ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak mencerdaskan.
Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-banyaknya. Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia kini baru sebatas organisasi yang terdiri dari elite-elite media dan akademisi pemerhati media. Di masa depan, organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal. Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar rumput dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau informasi apa pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton.

0 komentar:

Posting Komentar

 

are_u mail. Design By: SkinCorner