Kamis, 23 Juli 2009

spi?

lbur sPi gni...
Ia spi..cm mw nLiz getu j

Kamis, 16 Juli 2009

FotoGrafi JurnaliSTiK

Fotografi Jurnalistik
Definisi fotografi dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan.

Ciri-ciri foto jurnalis:
1.Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
2.Melengkapi suatu berita/artikel.
3.Dimuat dalam suatu media.

Sebuah foto dapat berdiri sendiri, tapi jurnalistik tanpa foto rasanya kurang lengkap, mengapa foto begitu penting ?, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam/mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa.
?Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi? (Kartono Ryadi, Editor foto harian Kompas). Perbedaan foto jurnalis adalah terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis berarti memilih foto mana yang cocok. ( ex: di dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil/memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan tamu sampai selesai, tapi seorang wartawan foto hanya mengambil yang menarik, apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, khan menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan (media massa) atau tidak.

Nilai suatu foto ditentukan oleh beberapa unsur:

1. Aktualitas.
2. Berhubungan dengan berita.
3. Kejadian luar biasa.
4. Promosi.
5. Kepentingan.
6. Human Interest.
7. Universal.

Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Spot news : Foto-foto insidential/ tanpa perencanaan. (ex: foto bencana, kerusuhan, dll).
2.General news : Foto yang terencana (ex : foto SU MPR, foto olahraga).
3.Foto Feature : Foto untuk mendukung suatu artikel.
4.Esai Foto : Kumpulan beberapa foto yang dapat bercerita.

Foto yang sukses

Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari ?being in the right place at the right time? . Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali.

Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.

Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut................tHat's All

Kamis, 18 Juni 2009

Kaidah-Kaidah Dasar Islam

Kaidah yang pertama dan utama adalah keyakinan terhadap Allah sebagai Kholiq (Pencipta), serta tauhid Rubbubiyah (Tuhan), Ulihiyah (Ilah, segala kepadaNya), dan Mulkiyah (Raja)
Kaidah kedua Tentang Fungsi dan Tugas Penciptaan Manusia, Manusia dikaruiniai akal / fikiran, utk disiapkan menerima amanah sebagai khalifatul fil ardh, sebagai pemegang Mandat atas kekuasaan mengatur sumberdaya di Bumi/Dunia
“Rule of the Game” atau aturan main yang digariskan Allah terhadap manusia adalah :
Taat (ikut perintah, jauhi larangan ~ Iman & Taqwa ), beramal sholih –> Syurga
Khianat, sesat, Syirik (jahil) –> Neraka
An Nahl 97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Sebagai gambaran pemikiran kita berikut Historical Mind perihal sistematika yang Allah rancang untuk manusia :
1.Awalnya ~ Adam mendapatkan hidayah langsung dari Allah,
2.Kemudian anak-cucunya, mulai menyimpang, memalsukan, menginterpretasikan ayat2 semau mereka. –> mereka golongan jahiliyah
3.Tapi Allah tidak binasakan manusia atas kejahilanya, malah Allah menurunkan/mengutus orang2 yang taat padaNYA dan memuliakan manusia-Nabi
4.Sampai dengan utusan Allah terakhir, Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi mengajarkan ajaran Dienul Islam yang sempurna
Ibrahim – 24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
Ibrahim – 25. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.

Peran Manajer dan Humas bagi Organisasi

Pengertian Dan Tujuan Manajemen Humas
Dalam pelaksanaan pekerjaannya seorang praktisi humas akan menggunakan konsep-konsep manajemen untuk mempermudah pelaksanaan tugas-tugasnya. Bahwa proses humas (tahapan fact finding, planning, communicating, evaluation). sepenuhnya mengacu pada pendekatan manajerial.
Untuk keperluan pembahasan manajemen hubungan masyarakat, maka sementara manajemen itu dapat dirumuskan sebagai suatu proses dari kelompok orang-orang yang secara koordinatif, memimpin kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
Dalam proses tersebut kita jumpai teknik-teknik dan koordinasi tertentu yang dipergunakan oleh kelompok orang-orang yang disebut manajer di dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan itu sendiri. Proses ini pun mencakup fungsi-fungsi dasar dengan pendekatan analistik seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan dalam melaksanakan manajemen (POAC, Planning, Organizing, Actuating, Controlling).
Peran Manajer dan Hubungan Masyarakat
Dengan melihat proses peranan manajemen dan hubungan masyarakat (humas) dalam suatu organisasi yang sudah dikemukakan, dapatlah dikatakan bahwa manajemen itu adalah upaya menyusun sasaran dan kerja sama melalui orang lain. Di samping itu, untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif dan agar pekerjaan terlaksana dengan baik. Fungsi dan tanggung jawab manajer humas hendaknya mengupayakan terjadinya hubungan yang lancar dan efektif antara semua bagian dalam perusahaan di satu sisi dan antara perusahaan itu dengan publik internal dan publik eksternal.
Staf humas harus menerapkan ketiga prinsip dasar fungsi hubungan masyarakat dan mampu secara objektif menanggapi pendapat dan sikap publik. Dengan demikian ia dapat memberi masukan pada pimpinan untuk menciptakan lingkungan usaha yang saling menguntungkan dan berkelanjutan serta mampu bersaing.
Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, tiap staf humas harus mempelajari setiap langkah dan sasaran perusahaan. Memantau keadaannya sejauh mana langkah dan sasaran itu akan mempengaruhi lingkungan. Apakah pendapat umum terhadap langkah dan sasaran itu. Hasil pemantauan hari ini dibandingkan lagi dengan hasil pemantauan esoknya dan begitu seterusnya secara berkesinambungan.
Tanggung jawab khusus manajer hubungan masyarakat ialah mengelola stafnya agar setiap langkah selalu berlangsung efektif. Melaksanakan koordinasi pekerjaan agar jangan sampai ada pekerjaan yang tumpang-tindih, mengawasi pekerjaan staf agar jangan menyimpang jauh dari perencanaan dengan metode kerja yang benar, alat kerja yang sesuai, dan informasi kerja yang tepat.
Penilaian dan hal-hal lain yang khas ada pada manajer hubungan masyarakat antara lain mungkin perlu penataran baru, penyaringan baru untuk mendapatkan tenaga inti atau diperlukannya penambahan tenaga yang berkualitas tertentu.
Kualitas yang khas pada manajer hubungan masyarakat ialah kemampuan menganalisis. Setiap anggota staf humas juga harus berkemampuan sebagai juru analisis. Manajer hubungan masyarakat harus pula bisa membenahi dirinya, dan menganggap dirinya mampu bekerja efektif tanpa perintah, karena manajer humas sendiri bukan mengurus bagian yang memberi perintah.
Manajer humas adalah bagian yang mewakili perusahaan terhadap publik dan mewakili publik pada perusahaan. Dengan demikian, tiap bagian lain dalam perusahaan itu tahu bahwa pimpinan puncak termasuk manajer humas tingkat dan bobotnya sama dengan rekan pimpinan puncak bagian lain. Manajer humas harus pula dapat menyajikan hasil evaluasi akurat tentang:
1.lingkungan
2.sikap dan pendapat publik
3.efektivitas manajemen humas
4.pengaruh tiap bagian yang harus dirasakan juga oleh manajer humas.
* Evaluasi tersebut meliputi ruang lingkup tugasnya manajer humas dalam rangka mengatur/memanfaatkan kegiatan internal dan eksternal.

Hubungan Masyarakat Unsur Pendukung Kegiatan Organisasi
Dalam bagian pertama dari modul ini dibahas mengenai fungsi hubungan masyarakat untuk mendukung tujuan organisasi atau perusahaan. Humas sebagai bidang ilmu pengetahuan interdisipliner dapat memberikan jawaban, sejauh praktisinya mampu mengembangkan ilmu ini dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, untuk ini disajikan kembali berbagai definisi kehumasan, termasuk definisi yang disebut dengan Statement Mexico. Definisi ini mempertegas kedudukan Humas dalam jajaran ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama yang berkaitan dengan ilmu komunikasi. Definisi ini kembali menggarisbawahi tugas Humas harus dilandasi dengan riset, konsultasi dengan pimpinan organisasi, program berencana dan tanggung jawab sosialnya. Juga disimpulkan adanya empat unsur pokok mengenai falsafah yang dikandung oleh humas.
Peranan humas untuk menanamkan sense of belonging pada publiknya dalam upaya untuk memenangkan tujuan organisasi, yang tentunya berlandaskan keterampilan humas agar dapat menyentuh persepsi publik sasaran. Hal ini harus dipahami bahwa dengan cara sistematis dan terencana akan dapat diraih dan dimenangkan sasaran pokok kegiatan humas untuk memenangkan dan meraih opini publik yang menguntungkan bagi organisasi. Semua ini bertitik tolak pada posisi humas sebagai unsur pendukung kegiatan organisasi.

Hubungan Masyarakat sebagai Pusat Informasi
Arti penting informasi bagi pelaksanaan tugas praktisi hubungan masyarakat dibahas dalam Kegiatan Belajar 2 dalam modul ini. Penguasaan informasi merupakan syarat mutlak bagi praktisi dalam mengemban tugasnya di dalam suatu organisasi, baik dalam hubungannya dengan pihak pimpinan, maupun dengan khalayak dalam, dan terlebih lagi dengan khalayak luar, informasi merupakan masukan yang harus dikuasai atau dimiliki.
Dalam hal ini kita mengacu pada proses pengalihan PR yang dirumuskan oleh Frank Jefkins, yang dengan jelas mengemukakan perlunya dijernihkan dulu berbagai masalah yang sedang dihadapi agar pelaksanaan kehumasan dapat berjalan dengan baik.
Semua ini tidak terlepas dari upaya untuk mengubah perilaku khalayak melalui dua jenjang, yaitu transforming role dan socializing role. Yang pertama dimaksudkan untuk mengubah perilaku publik, sementara yang kedua adalah hasil yang dapat diperoleh.
Pada kegiatan belajar ini dibahas pula peranan yang dimainkan oleh para praktisi humas pemerintah yang tergabung di dalam organisasi Bakohumas, dan peranan yang dilakukan praktisi tidak sama dengan rekan-rekannya pada humas swasta. Sekalipun dasar pengetahuan kehumasan itu sama, tetapi jelas para anggota Bakohumas harus mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan praktisi swasta, yang tergabung di dalam Perhumas yang bebas melakukan tugasnya untuk mencapai sasaran.
Dari uraian ini jelas bagi kita bahwa kerja humas tidak dapat ditangani sambil lalu, tetapi harus profesional sebagai suatu bidang ilmu. Kita kutip uraian Prof. Dr. Astrid Susanto mengenai bidang-bidang spesialisasi dalam kehumasan, yang dibagi dalam beberapa kelompok. Dari uraian ini jelas dapat kita simak masalah yang dihadapi praktisi terlalu banyak dan beragam, serta menuntut harus ada ketentuan.
Juga dikutip pendapat seorang pakar marketing, PR. Smith, tentang arti informasi dalam bidang militer dan marketing, bahwa informasi dapat menciptakan power. Dalam kaitan ini dikutip pula pendapat Jefkins tentang posisi praktisi dalam suatu organisasi yang merupakan mata, telinga dan suara dari perusahaan. Posisi ini harus berada pada jajaran pimpinan, dan hal ini sama dengan sudut pandang Ivy Lee pada permulaan abad ini

How to Be a Good Public Speaker

'm going to share with you how to be a good public speaker. I used to be pretty bad at the whole speech game. I would get up in front of the audience and I would scared out of my mine. I didn't know how to present, be effective or persuade. I'm happy to say, I learned.
When you start out a speech, you're really starting before you ever say anything. It is that initial body language that speaks to the crowd. Standing tall is all it takes to appear confident in front of them. You're going to face the challenge of explaining why you're up there and excite about it. This can be very tough for most people. The opening sentence is one of the most important things. You need to be bold. You need to be passionate. You need capture the audience's attention. This is why you need to dedicate a proper amount of time to develop a great opener and that is one of the ways how to be a good public speaker.
At this point, you should be into your speech. Don't hide behind the podium. It isn't something there to protect you. The audience sees it as you hiding behind it. It is okay to leave the comfort of the podium and move around a bit. Remember, that your base camp is the podium and return there at necessary times, but it's okay to move around. That is how to be a good public speaker, you get moving and you have your audience following you at all times with their eyes.
The end of a speech is just as important as the first sentence. You've now reached the end and you have to tell your audience what they're supposed to do. Naturally, you conclude what you've been talking about. The last few sentences should be a call to action for the listener. The last thing floating around in the audience's mind is what they should be doing with the information you gave.

HOW TO BE A GOOD SPEAKER

Guiding the Audience Through Your Talk
One of the first considerations for an effective speaker, said session organizer Rosemary Chang, who also gave the first talk, is understanding your audience. It is the audience that determines the language and the technical jargon that can be used appropriately. A technical briefing in industry differs significantly from a technical talk at a conference and certainly from a talk to a high school class, or even to a mixed audience containing members of all these groups.
To become a better speaker, Chang suggested to a lot of talks and thinking about what it is you like in different speakers? Presentations? Attention to such obvious-sounding matters as voice, eye contact, and feedback from the audience can make a crucial difference, she said, and honest after-the-fact assessments from others are invaluable. All these considerations are especially important for women, Chang pointed out: A woman who gives a talk in a tentative manner risks being interpreted as weak. It is good to be nervous before a talk, Chang said. However, the point is to avoid panic, which is accomplished both through careful preparation of the content of the talk and through practice. She had made things hard on herself in the AWM session by opting to make her presentation without using slides. Her point was that every talk is an opportunity for a speaker to improve her speaking ability; her objective with this talk, she explained, was to practice speaking without slides or notes. If she had been giving a technical talk, she certainly would have used slides, which she considers indispensable.
 
While leaving the preparation of effective slides to the third speaker in the session, Gerald Farin of Arizona State University, Chang pointed out the value of slides in helping to guide a listener through a talk. While a written paper is not necessarily linear, she said, since a reader can move around in the text at will, the listener at a talk does not have the luxury of returning to a previously made point. Slides can also serve as the speaker takes notes, and they can be useful in pacing the talk.
You are the Star!
SIAM president Margaret Wright likes to choose a motif or theme for her technical talks. For her talk at the AWM minisymposium, titled having a Technical Presentation at a Technical Conference? She settled on the idea that speaking is like acting, with soul, method, and technique coming into play in both, and with the speaker taking the parts of author, director, star, and understudy. Content, the most important element is defined by the speaker, Wright said. The subject of the talk might be a new theorem, or it might be a new proof of an existing theorem. The speaker could be describing new algorithms or surveying a field. In each case, Wright pointed out, the content will dictate the structure of the talk.
Like Chang and Farin, Wright emphasized the importance of knowing the audience: as director, you have to build a model of the audience? The (high-stress) talk given to a group of leading experts in a field differs from a talk to an audience of PhDs in the speaker’s area, which in turn differs from a talk to an audience composed of PhDs in mathematics. The speaker could also be addressing a general audience of scientists, a group of high school students, or high-level executives. Regardless of its level, an audience can be supportive, tough, competitive, skeptical, and easily bored?
Pede" Bicara di Depan Umum
Bagi sebagian orang, bicara di depan umum bisa jadi momok yang menakutkan. Menjadi semacam fobia tersendiri. Namun, bagi segelintir orang lainnya, bicara di depan umum justru menjadi sumber mata pencaharian. Apa rahasia bisa sukses bicara dengan lancar di depan umum?
“Untuk bicara di depan umum diperlukan persiapan, tapi hati-hati juga, ada orang yang bisa jadi takut untuk bicara karena terlalu banyak persiapan. Menurut saya, boleh mempersiapkan diri ketika akan bicara di muka umum, tapi yang terutama harus nyaman dengan diri sendiri dulu. Ragu untuk tampil adalah musuh nomor 1,” tips dari Alexander Sriwijono, psikolog sekaligus salah seorang penulis buku Talk-inc Points di acara talkshow yang digelar di Kinokuniya, Plaza Senayan, Kamis (28/05). Kadang, ragu menghampiri karena kita berpikir bahwa orang yang akan kita ajak bicara, atau para hadirin ini, lebih tua dan lebih tahu ketimbang kita. Usahakan untuk berpikir lebih positif.
Becky Tumewu dan Erwin Parengkuan mengatakan bahwa bicara merupakan hal yang alamiah yang dimiliki manusia. Maka, seharusnya manusia tak perlu takut untuk berbicara. Menanggapi pernyataan bahwa untuk bicara di depan umum itu adalah bakat yang diberikan Tuhan, Erwin Parengkuan menjawab bahwa bicara bukanlah bakat, tetapi yang membedakan adalah materi yang akan disampaikan. Agar sukses, seseorang harus bisa dan mau berlatih berkomunikasi dengan memerhatikan dan lebih peka, pelajari seberapa sering orang salah menangkap isi pembicaraan Anda, dan bagaimana Anda menyampaikannya kala itu, juga perhatikan respons dan bahasa tubuh orang yang diajak bicara. Berbicara itu seperti menari tango, dibutuhkan respons timbal-balik.
Alexander Sriwijono menambahkan, “Komunikasi itu dipakai di mana saja. Menurut saya, bicara di depan umum bukan perkara talenta, tapi masalahnya adalah bagaimana menyampaikan sesuatu dengan benar. Zaman sekarang banyak orang yang mengganti kata ‘tolong’ dengan ‘dong’, misalnya. Itu kan tidak sopan. Nah, perlu untuk belajar berkata-kata dengan baik, dan mempelajari respons dari orang lain.”
Dalam bukunya, ketiga penulis, Alexander Sriwijono, Becky Tumewu, dan Erwin Parengkuan menekankan terhadap 3 poin yang penting dan harus ada ketika seseorang ingin sukses bicara di depan umum. Sebanyak tiga poin yang disampaikan adalah; Kekuatan Mental, Ketepatan Kata, dan Totalitas Bahasa Tubuh. “Ketika kita sudah merasa takut untuk bicara di depan umum, ketiga pilar tersebut pasti jadi hancur. Ketika seseorang bisa mengalahkan rasa takut, keadaan akan lebih lancar. Diperlukan ketiganya untuk bisa menyelaraskan dan menyeimbangkan suasana,” terang Becky Tumewu.
Ketika ditanyakan perihal public speaking para calon pemimpin negara ini, Alexander Sriwijono mengatakan, “Menurut saya, public speaking itu menyangkut timeless memory. Saya sudah memiliki 2 anak. Saya mau, apa pun yang saya sampaikan di muka umum tercatat di media selama 15-20 tahun ke depan. Saya tak mau, ketika anak saya membaca apa yang saya katakan di masa itu, mereka malu. Saya harus bisa live up dengan apa yang saya katakan. Jadi, menurut saya, ketika menyangkut pemimpin yang layak adalah orang yang bisa mempertanggungjawabkan perkataannya di masa mendatang.”

Being a Good Speaker

1. Be active in letting people know you are available to speak.  Once you have a date, encouage the group to publicize your program and tell people yourself.  Inform local newspapers, radio and TV stations and include information about who you are aand when and what group you traveled with.

2. Become familiar with your own denomination's stand on these issues and bring a copy (or copies) of any resolutions passed recently.  You might want to become familiar with Chruches for Middle East Peace (CMEP) materials since your denomination probably participates in the organization. (www.CMEP.org)
3. Don't make the program a tourist trip with slides showing monuments and sites.  If you use slides, illustrate the issues and people.
4. Bring some handouts such as maps, time lines, recent Emails or website printouts.  Put up a display.  Bring a large map to post as well.
5. Use you own experience as the basis for your talk.  Tell lots of stories and then relate them to points you want to make.
6. Focus on children, women, family etc., all of which helps humanize the Palestinians.  If you talk about terror, personalize the many Palestinian civilians killed by Israeli guns and bombs.  Give credibility to Palestinian leaders and other prominent Palestinians.  Elections haven't been held recently because of the occupation.
7.  Avoid generalizing and putting words into people's mouths such as "Palestinians say..."  "Israelis say..." Tell about what a specific person said to you.  There are many different opinions among both Israelis and Palestinians. Don't allow members of your audience to dehumanize either side.
8. Use the correct vocabulary.  Arabs are not all Muslims.  Occupied territories are not disputer territories; illegal settlements imply that some settlements are legal.  None are legal, etc.  Settlements are not the same as kibbutzim.
9. Allow plenty of time for questions.  This is the most fruitful time of all.
10. If you don't know the answer to a question, tell the person you will find out and follow up on that promise.
11. If you receive an honorarium and don't need the money, donate it to a peace movement or other appropriate cause.  Let the group who gave you the honorarium know how you used it.  You might interest them in giving more to that cause.

Pitfalls and problems
You will probably not be hissed or booed, but there are ways in which people can discredit you or cause you problems.
1. Watch out for allegations that move the discussion away from where you want it to go or irrelevant comments which cast aspersions on a person or group.  Be sure to remind people of context and history.  (People often want to begin questions with terrorism but you need to help them get behind and prior to today's events with the fact of the military occupation and without excusing suicide bombers.)
2. Be careful of deflection, such as referring to what other people in the world are doing or have done.  "If you think that is bad, what about...?"  Bring the conversation back to your topic.  "We are talking about...." Especially don't allow Sadam Hussein or Osama Bin Laden to be used as a tie to Arafat.
3. Be aware of rhetorical questions.   They often begin with "How can the Palestinians...?"  or "Why do Palestinians...?"  Behind each of them are many assumptions about what Palestinians are and do that need challenging.  Instead of answering them, question them.  "Where did you get that information?"  "Where did you get the idea that...?"  Reframe the question in other terms.  
4. Distinguish between what you say about the country of Israel and Zionism (political issues) and what you say about Jews and Judaism (religion and ethnic group).  Don't accept the charge of anti-Semitism unless you always accept charges people make against you or unless it is justified.  (Anti-Semitism is not the same as anti-Zionism, no matter what a person might tell you.)  Don't go on the defensive or offensive. 
5. You are an expert on your own experience and no one else is. Just tell your story.  "This is my experience.  Maybe you had a different experience."
6. Avoid "tit for tat" discussions.  People will come up with different information.  You can always say, "This is how I experienced it and what I have read.  Maybe you got your information from a different source.  Where did you get that information from?" Do not weigh lives one against another but do not let statistics reflect only one side. All are human beings.  This is a real balancing act.
7. Remember: You can't change history.  All you can do is lie about it.  Watch out for lies and myths.  Our job is to challenge the myths and lies that have been put forth and to tell the truth as we see it and have experienced it.
Some suggestions for topics:
1. Living under the occupation, closure and curfew and living with the Wall.  Define the terms and then tell a story about such things as permits and checkpoints; land confiscation, settlements and settlers roads; medical problems; educational problems; human rights, etc.  At the end of each story point out the consequences and also the relevant international laws.
2. Use you itinerary as an outline and relate it to events since 1967.
3. Present questions you had as you started your trip and the answers you discovered.
4. How have you changed your mind and what are the events which changed it?
5. Base your speech around specific people and tell their stories.
6. Tell about the crisis for Christians in the Holy Land and the important role they have carried over the years.
7. Be sure you know as much as possible about the Separation Wall and the International Court of Justice advisory decision as well as the UN General Assembly vote.  These are relatively recent developments.  Keep yourself up-to-date.

membuat Film Dokumenter

Membuat film bukanlah suata hal yang sulit. Jika kita ingin membuat film, maka kita harus lebih dulu tahu pengertian film dan jenis apa yang akan kita buat. Cara membuat film dokumenter yang ditulis oleh Fajar Nugroho dalam bukunya ini dapat membimbing kita dalam proses pembuatan film dokumenter. Kurangnya minat masyarakat kita terhadap film dokumenter karena film dokumenter dahulunya mengunakan topik yang kaku dan tidak menghibur penonton.
Dalam membuat film dokumenter yang kita rekam harus berdasarakan fakta yang ada. Jadi film dokumenter adalah suata film yang mengandung fakta dan subjektivitas pembuatnya. Artinya apa yang kita rekam memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya kita juga memasukkan pemikiran-pemikiran kita.
Dalam membuat film dokumenter ada langkah-langkah dan kiat bagaimana film yag kita produksi disenangi oleh penonton dan tidak memakan biaya yang besar saat memproduksinya.. Langkah yang harus kita tempuh dalam membuat film dokumenter adalah pertama, menentukan ide. Ide dalam membuat film dokumenter tidaklah harus pergi jauh-jauh dan memusingkan karena ide ini bisa timbul dimana saja seperti di sekeliling kita, di pinggir jalan, dan kadang ide yang kita anggap biasa ini yang menjadi sebuah ide yang menarik dan bagus diproduksi. Jadi mulailah kita untuk bepfikir supaya peka terhadap kejadian yang terjadi.
Kedua, menuliskan film statement. Film statement yaitu penulisan ide yang sudah ke kertas, sebagai panduan kita dilapangan saat pengambilan Angel. Jadi pada langkah kedua ini kita harus menyelesaikan skenario film dan memperbanyak referensi sehingga film yang kita buat telah kita kuasai seluk-beluknya.
Ketiga, membuat treatment atau outline. Outline disebut juga script dalam bahasa teknisnya. Script adalah cerita rekaan tentang film yang kita buat. script juga suatu gambar kerja keseluruhan kita dalam memproduksi film, jadi kerja kita akan lebih terarah. Ada beberapa fungsi script. Pertama script adalah alat struktural dan organizing yang dapat dijadikan referensi dan guide bagi semua orang yang terlibat. Jadi, dengan script kamu dapat mengkomunikasikan ide film ke seluruh crew produksi. Oleh karena itu script harus jelas dan imajinatif. Kedua, script penting untuk kerja kameramen karena dengan membaca script kameramen akan menangkap mood peristiwa ataupun masalah teknis yang berhubungan dengan kerjanya kameramen. Ketiga, script juga menjadi dasar kerja bagian produksi, karena dengan membaca script dapat diketahui kebutuhan dan yang kita butuhkan untuk memproduksi film. Keempat, script juga menjadi guide bagi editor karena dengan script kita bisa memperlihatkan struktur flim kita yang kita buat. Kelima, dengan script kita akan tahu siapa saja yang akan kita wawancarai dan kita butuhkan sebagai narasumber.
Keempat, mencatat shooting. Dalam langkah keempat ini ada dua yang harus kita catat yaitu shooting list dan shooting schedule. Shooting list yaitu catatan yang berisi perkiraan apa saja gambar yang dibutuhkan untuk flim yang kita buat. jadi saat merekam kita tidak akan membuang pita kaset dengan gambar yang tidak bermanfaat untuk film kita. Sedangkan shooting schedule adalah mencatat atau merencanakan terlebih dahulu jadwal shooting yang akan kita lakukan dalam pembuatan film.
Kelima, editing script. Langkah kelima ini sangat penting dalam pembuatan film. Biasa orang menyebutnya dengan pasca produksi dan ada juga yang bilang film ini terjadinya di meja editor. Dalam melakukan pengeditan kita harus menyiapkan tiga hal adalah menbuat transkip wawancara, membuat logging gambar, dan membuat editing script. Dalam membuat transkipsi wawancara kita harus menuliskan secara mendetail dan terperinci data wawancara kita dengan subjek dengan jelas.
Membuat logging gambar ini maksudnya, membuat daftar gambar dari kaset hasil shuuting dengan detail, mencatat team code-nya serta di kaset berapa gambar itu ada. Terakhir ini merupakan tugas filmmaker yang membutuhkan kesabaran karena membuat editing scrip ini kita harus mempreview kembali hasil rekaman kita tadi ditelevisi supaya dapat melihat hasil gambar yang kita ambil tadi dengan jelas. Dengan begitu kita akan mebuat sebuah gabungan dari Outline atau cerita rekaan menjadi sebuah kenyataan yang dapat menjadi petunjuk bagi editor.
Dengan meneyelesaikan langkah di atas maka kita mecoba mencari sponsor untuk memutar film di khalayak umum. Jika sudah ada maka anda siap-siap jadi orang terkenal. Jadi sekarang tunggu apalagi bagi filmmaker pemula mulailah tunjukan bahwa karya kamu dapat dinikmati dan menarik untuk di tonton oleh semua kalangan.

Fungsi Dan Peranan Pers Di Indonesia

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi

pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial .
Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan
sebagai berikut:
memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia,
serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran
Berdasarkan fungsi  dan peranan pers
yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the
fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta
pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers
itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers
dari pemerintah.
Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar
pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman
peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap
kebebasan pers.
Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat
membatasi kebebasan pers . hl ini terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri
Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP),
yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi
redaksional pers dan pembredelan.
             Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis
pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk , namun tanpa
pers bebas yang ada hanya celaka.
Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah,
pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segal sesuatu yang menrutnya tidak
beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka
memberitakan hah-hal yang slah daripada yang benar. Pandangan seperti itu
sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan
parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga
memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang
meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai
kesulitan.

PerS

Pengertian dan ciri-ciri pers
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, pada umumnya orang menganggap pers itu pers cetak: suart kabar dam majalah. Anggapan umum seperti itu disebabkan oleh ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain.
Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut: komunikasi dengan menggunakan pers; proses berlangsung satu arah; komunikatornya melembaga; pesan bersifat umum; medianya menimbulkan keserempakan; dan komunikannya bersfat heterogen (Effendy, 1994).
Sedangkan Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers adalah sebagai berikut:
1. Periodesitas. Pers harus terbit secara teratur, periodek, misalnya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan sebagainya. Pers harus konsisten dalam pilihan penerbitannya ini.
2. Publisitas. Pers ditujukan (disebarkan) kepada khalayak sasaran yang sangat heterogen. Apa yang dimaksud heterogen menunjuk dua hal, yaitu geografis dan psikografis. Geofrafis menunjuk pada data administrasi kependudukan, seperti jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan psikografis menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya.
3. Aktualitas. Informasi apapun yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang terjadi. Secara etimologis, aktualitas (actuality) mengandung arti kini dan keadaan sebenarnya, secara teknis jurnalistik, aktualitas mengandung tiga dimensi: kalender;waktu; masalah. Aktualitas kalender berarti merujuk kepada berbagai peristiwa yang sudah tercantum atau terjadwal dalam kalender. Aktualitas waktu berkaiutan dengan peristiwa yang baru saja terjadi, atau sesaat lagi akan terjadi. Aktualitas masalah berhubungan dengan peristiwa yang dilihat dari topiknya, sifatnya, dimensi dan dampaknya, kharakteristiknya, mencerminkan fenomena yang senantiasa mengandung unsur kebaruan.
4. Universalitas. Berkaitan dengan kesemestaan pers dilihat dari sumbernya dan dari keanekaragaman materi isinya.
5. Objektivitas. Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca.
Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh pers cetak surat kabar dan majalah maupun oleh pers elektrolit radio dan televisi. Kendati demikian, antara pers cetak dan pers elektrolit itu terdapat perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh pers elektrolit hanya diterima sekilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat, sedangkan pesan-pesan yang disiarkan pers cetak dapat diulangkaji dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca pada tiap kesempatan.
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.
Bagaimana dengan pers di Indonesia? Pengertian pers di Indonesia sudah jelas sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomer 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai berikut:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.
Ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain berfungsi saling menopang (Haris Sumadiria, 2004). Ketiga pilar itu adalah:
1. Idealisme. Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai0nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Komersialisme. Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.
3. Profesionalisme. Profesianalisme adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut: a. memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya; b. mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya; c. seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi; d. secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya; e. memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya; f. tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan atau keahlian tertentu. Dengan merujuk kepada enam syarat di atas, maka jelas pers termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.
B. Sejarah Pers Indonesia
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.
C. Fungsi Pers dan Konsep Public Sphere
Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi tentu dengan perasaan tanggungjawab bila pers itu menganut social responsibility. Idealisme yang melekat pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Fungsi menyiarkan informasi (to inform). Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Khalayak pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dikatakan orang, dan sebagainya.
2.Fungsi mendidik (to educate). Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, maupun berita.
3.Fungsi menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat oleh surat kabar dan majalah untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest), dan kadang-kadang tajuk rencana.
4.Fungsi mempengaruhi (to influence). Fungsi mempengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan social control. Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana, opini, dan berita.
Mengelola pers dengan fungsi seperti itu memerlukan keberanian dan kebijaksanaan. Ini disebabkan oleh sifat pekerjaan mengelola pers yang ideal-komersial. Kalau mengutamakan segi ideal, pers tidak akan hidup lama. Sebaliknya jika mengutamakan segi komersial, lembaga seperti itu tidak layak lagi diberi predikat pers. Jika pers benar-benar melaksanakan tugas social control-nya, akan banyak tantangan yang harus dijawab dengan sikap yang bertanggung jawab, berani, dan bijaksana. Dalam suatu situasi, pers bisa dihadapkan kepada dua alternatif: mati terhormat karena memegang prinsip atau hidup tidak terhormat karena tidak mempunyai kepribadian.
Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya di samping fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat dikaji dalam bab 2 pasal 2 - 6 Undang-undang nomer 40 tahun 1999 yang tersurat sebagai berikut:
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
(3) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyrakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta meghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Diskursus seputar pers, khususnya dalam kajian seputar masyarakat madani dan demokratisasi, pada akhirnya akan sulit mengesampingkan keberadaan konsep public sphere, yang pertama kali diketengahkan oleh salah seorang tokoh pembela proyek pencerahan: Habermas. Sebagai suatu ideal type, “kawasan publik” atau “ruang publik” merujuk pada suatu celah di antara negara dan masyarakat madani, di mana setiap individu warga negara melibatkan diri dalam diskursus tentang berbagai isu permasalahan bersama, dalam kerangka pencapaian konsensus di antara mereka sendiri ataupun untuk mengontrol negara dan pasar. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk bersatu dalam kesatuan-kesatuan politik besar, seperti negara. Pers, dalam konteks itu, berfungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan.
Pers selama era orde baru memang jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan suatu public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan orde baru, dengan kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi subordinat di hadapan penguasa negara, Pers dan berbagai lembaga pendidikan serta lembaga publik lainnya, diupayakan oleh penguasa agar sepenuhnya bisa berfungsi sebagai aparatus ideologi negara, berpasangan dengan sejumlah aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs (preman-preman politik) yang dibina penguasa.
Setelah orde baru lengser, pers memang tampil berbeda. Sudah jelas jauh lebih berani bersikap kritis terhadap penguasa. Pers menjadi lebih agresif dan kreatif dalam memberi nilai tambah suatu berita, dan juga mengeksplorasi isu-isu permasalahan untuk diolah menjadi komoditas informasi.
Tetapi justru karena itu pula semakin sering kita dengar keluhan dari publik temntang adanya media yang membuat pemberitaan sepihak, tidak objektif, mengingkari kaidah cover both sides, dan semacamnya, Toh ada pandangan yang menilai bahwa maslah sebenarnya bukan hal-hal semacam itu.
Dalam sebuah public sphere, yang lebih dipentingakn adalah “objektivitas” intermedia, bukan hanya “obyektivitas” intra media. Sulit untuk mengharapkan agar setiap media membuat pemberitaan yang “objektif”, misalnya seputar konfliketnis di Tanah Air. Sebab, apakah yang “objektif” tentang konflik etnis semacam itu? Bukankah realitas konflik semacam itu sebenarnya merupakan sebuah kontruksi sosial, produk suatu pertarungan wacana yang melibatkan madia serta berbagai unsur publik?
Artinya, realitas “objektif” tentang suatu peristiwa, konflik antaretnis, misalnya, adalah “penjumlahan” atau agregasi dari berbagai realitas simbolik yang ditamplkan dan dipertarungkan sejumlah media, masing-masing dengan versi dan pandangannya sendiri. Bila anda ingin mengetahui realitas yang “objektif mengenai konflik etnis di Kalimantan” ~bila realita “objektif” tentang konflik itu memang ada~ maka tontonlah semua televisi, bacalah media-media cetak, dan lain-lainnya. Justru melalui pertarungan wacana antarmedia yang beragam itulah diharapkan bisa berlangsung diskursus publik, untuk mencapai suatu konsensus seputar realitas konflik yang terjadi. Itu pula yang terjadi di warung kopi ataupun digambarkan dalam konsepsi public sphere: pertemuan dan pertarungan antara berbagai versi definisi realitas permasalahan.
Namun public sphere lebih dari sekedar warung kopi~tempat orang-orang terbiasa bercanda, berbincang, berdebat kusir, ataupun menebar gosip~, sebab, sekurangnya ada sejumlah kualitas yang hares dimiliki oleh sebuah public sphere agar tidak terjadi distorsi sistematik terhadap proses-proses pencapaian konsensus yang dilakukan. Pertama, selain kawasan tersebut hares cukup terlindungi dari intervensi negara ataupun pasar, dan hares adapula distribusi kuasa yang sama antarindividu yang terlibat di dalamnya, maka akses ke kawasan itu pun hares terbuka lebar bagi setiap warga, dan tidak ada pengistemewaan yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Kedua, adanya kesepakatanuntuk mematuhi aturan-aturan penyelenggaraan sebuah diskursus rasional dimana setiap klaim kebenaran dapat diuji kebenaran, ketepatan, dan kelayakannya melalui kaidah kaidah-kaidah yang rasional, terbebas dari distorsi permainan politik dan ekonomi, primodialisme, etnosentrisme, dan berbagai fanatisme sempit. Oleh karena itu, pengertian kemandirian pers lebih berkaitan dengan kemandirian dari pengaruh serta dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam publik, kepentingan negara, serta tekanan pasar. Di luar itu, pers diharapkan berpihak pada norma-norma penyelengaraan public sphere yang menjamin berlangsungnya diskursus rasional, guna mencapai konsensus-konsensus publik yang benar-benar legitim.
Namun media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki oleh publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.
Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik terkait, tanpa pemberian previlege untuk kelompok tertentu.

Model Sistem Komunikasi

Tujuan utama sebuah sistem komunikasi adalah untuk mentransfer informasi dari satu titik, dalam suatu waktu dan tempat, yang disebut juga Sumber Informasi (Source) ke suatu titik lain yaitu titik Tujuan (Destination). Gambar di bawah ini memperlihatkan elemen - elemen sebuah sistem komunikasi :

Ada tiga bagian penting pada setiap sistem komunikasi, yaitu pemancar, penerima, dan kanal komunikasi. Pemancar melakukan suatu proses supaya sinyal yang ditransmisikan sesuai dengan karakteristik kanal komunikasi yang digunakan untuk mendapatkan transmisi yang efisien. Atau dengan kata lain pemancar mempunyai fungsi untuk menyiapkan sinyal informasi yang akan dikirim sedemikian rupa sehingga bisa mengatasi hambatan yang diberikan oleh kanal. Proses yang dilakukan dalam pemancar antara lain modulasi dan coding.
Kanal transmisi adalah media elektrik yang menjembatani jarak antara sumber dan tujuan komunikasi. Media ini bisa berupa kawat tembaga, kabel koaksial, udara (radio), serat optik atau media lainnya. Setiap kanal memberikan rugi-rugi transmisi atau redaman, sehingga daya sinyal berkurang dengan peningkatan jarak.
Sedangkan penerima berfungsi untuk melakukan proses pada sinyal keluaran dari kanal untuk memperoleh kembali sinyal pesan/informasi. Karena adanya pengaruh noise, distorsi dan interferensi, sinyal yang diperoleh kembali tidak persis sama dengan aslinya. Operasi yang dilakukan pada penerima antara lain penguatan, demodulasi dan decoding untuk membalikkan proses yang dilakukan pada pemancar dengan kesalahan sekecil mungkin. Filtering juga salah satu fungsi penting yang dilakukan oleh penerima.
Untuk informasi yang berupa besaran bukan listrik diubah menjadi besaran listrik dengan menggunakan transducer. Proses ini terjadi pada bagian pemancar. Sedangkan pada bagian penerima terjadi proses sebaliknya, dimana besaran non-listrik diubah menjadi besaran listrik. Transducer yang dipergunakan antara lain microphone, speaker, kamera, atau tabung CRT.
Beberapa istilah komunikasi adalah :
Informasi adalah entitas yang disampaikan dan memiliki makna/arti.
Pesan (Message) adalah bentuk fisik dari informasi.
Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima.
Telekomunikasi adalah komunikasi jarak jauh dimana harus dipergunakan alat-alat bantu.
Sistem Komunikasi adalah perpaduan prosedur dan peralatan dalam proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima.

Unsur-Unsur Tulisan yang Efektif

Sasaran kita adalah bagaimana membuat unsur-unsur tulisan itu menjadi efektif. Kalau unsur-unsur tulisan itu efektif, maka dengan sendirinya tulisan itu menjadi efektif. Hal-hal yang harus diperhatikan mencakup kata yang efektif, kalimat yang efektif, dan alinea yang efektif. Mari kita bahas satu per satu unsur tersebut.
A. Kata yang Efektif
Kata adalah kumpulan huruf. Kata merupakan unsur terpenting dalam pengeditan. Tanpa ada kata, mustahil terjadi proses pengeditan. Kata yang kita butuhkan di sini adalah yang efektif, bukan kata yang kedodoran atau asal tertata. Ada tiga hal perlu diperhatikan terhadap kata.
1.Kata yang digunakan harus mudah dimengerti. Jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata asing yang sulit, bahkan tidak bisa dimengerti oleh pembaca.
2.Kata yang digunakan harus dinamis, artinya kata yang ditampilkan memunyai arti yang lebih hidup, lebih bersemangat, dan sesuai dengan kondisi dan situasi pernyataan yang akan disampaikan.
3.Setiap kata yang muncul harus demokratis (konsensus umum, bermakna satu, dapat diterima secara umum, atau sudah dibakukan).
B. Kalimat yang Efektif
Kalimat adalah gabungan kata yang mengandung arti. Untuk mendapatkan kalimat yang efektif, maka perlu diperhatikan syarat kalimat sebagai berikut.
1.Secara Bentuk
a.Memunyai gabungan kata secara teratur: S + P + O + K, atau anak kalimat + induk kalimat, atau sebaliknya.
b.Kalimat itu harus selesai. Pengertian selesai ini harus diakhiri dengan titik, tanda seru, tanda tanya; bukan koma.
c.Bila terdapat dua subjek atau dua predikat, atau lebih dari satu objek, maka kalimat itu disebut kalimat berantakan atau kalimat kacau. Ini harus dihindari.
d.Bisa terdiri dari kalimat tunggal, artinya: subjeknya atau predikatnya atau objeknya hanya satu.
e.Kalau terdiri dari kalimat majemuk, maka terdiri dari satu induk kalimat dan satu anak kalimat.
2.Secara Isi
a.Kalimat harus mengandung satu ide atau satu gagasan.
b.Agar dapat merangsang minat baca, kalimat itu harus persuasif, tegas, meyakinkan, dan jangan ragu-ragu. Dalam arti luas harus komunikatif.
C. Alinea yang Efektif
Alinea adalah kumpulan dari kalimat. Alinea yang efektif wajib terdiri dari:
1.Satu penyataan atau satu pikiran, dan kalimat berikutnya merupakan kelanjutan atau kedalaman pikiran sebelumnya.
2.Merupakan satu kesinambungan analisis dari alinea sebelumnya.
3.Semakin memasuki ke dalam alinea, cara pikirnya semakin menyempit, yang akhirnya mengarah pada titik kesimpulan, atau titik pertanyaan.

Unsur-Unsur Tulisan yang Efektif

Sasaran kita adalah bagaimana membuat unsur-unsur tulisan itu menjadi efektif. Kalau unsur-unsur tulisan itu efektif, maka dengan sendirinya tulisan itu menjadi efektif. Hal-hal yang harus diperhatikan mencakup kata yang efektif, kalimat yang efektif, dan alinea yang efektif. Mari kita bahas satu per satu unsur tersebut.
A. Kata yang Efektif
Kata adalah kumpulan huruf. Kata merupakan unsur terpenting dalam pengeditan. Tanpa ada kata, mustahil terjadi proses pengeditan. Kata yang kita butuhkan di sini adalah yang efektif, bukan kata yang kedodoran atau asal tertata. Ada tiga hal perlu diperhatikan terhadap kata.
1.Kata yang digunakan harus mudah dimengerti. Jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata asing yang sulit, bahkan tidak bisa dimengerti oleh pembaca.
2.Kata yang digunakan harus dinamis, artinya kata yang ditampilkan memunyai arti yang lebih hidup, lebih bersemangat, dan sesuai dengan kondisi dan situasi pernyataan yang akan disampaikan.
3.Setiap kata yang muncul harus demokratis (konsensus umum, bermakna satu, dapat diterima secara umum, atau sudah dibakukan).
B. Kalimat yang Efektif
Kalimat adalah gabungan kata yang mengandung arti. Untuk mendapatkan kalimat yang efektif, maka perlu diperhatikan syarat kalimat sebagai berikut.
1.Secara Bentuk
a.Memunyai gabungan kata secara teratur: S + P + O + K, atau anak kalimat + induk kalimat, atau sebaliknya.
b.Kalimat itu harus selesai. Pengertian selesai ini harus diakhiri dengan titik, tanda seru, tanda tanya; bukan koma.
c.Bila terdapat dua subjek atau dua predikat, atau lebih dari satu objek, maka kalimat itu disebut kalimat berantakan atau kalimat kacau. Ini harus dihindari.
d.Bisa terdiri dari kalimat tunggal, artinya: subjeknya atau predikatnya atau objeknya hanya satu.
e.Kalau terdiri dari kalimat majemuk, maka terdiri dari satu induk kalimat dan satu anak kalimat.
2.Secara Isi
a.Kalimat harus mengandung satu ide atau satu gagasan.
b.Agar dapat merangsang minat baca, kalimat itu harus persuasif, tegas, meyakinkan, dan jangan ragu-ragu. Dalam arti luas harus komunikatif.
C. Alinea yang Efektif
Alinea adalah kumpulan dari kalimat. Alinea yang efektif wajib terdiri dari:
1.Satu penyataan atau satu pikiran, dan kalimat berikutnya merupakan kelanjutan atau kedalaman pikiran sebelumnya.
2.Merupakan satu kesinambungan analisis dari alinea sebelumnya.
3.Semakin memasuki ke dalam alinea, cara pikirnya semakin menyempit, yang akhirnya mengarah pada titik kesimpulan, atau titik pertanyaan.

SeJarAh FotoGrafi

Foto pertama dibuat pada tahun 1826 selama 8 jam. Louis Jacques mande Daquerre merupakan bapak fotografi dunia (1837). Kamera Obcura merupakan kamera yang pertama kali yang dipakai untuk menggambar kemudian memotret. Kamera Kodak (Eastmant Kodak) pertama kali ditemukan oleh Snapshooter 1888 di Amerika. Konstribusi fotografi ke dunia film pertama kali di pelopori oleh Eadward Muybridge. Flas atau lampu kilat pertama kali ditemukan oleh Harold E. Edgerton pada tahun 1938.Memotret benda-benda mati disebut dengan still life. Penemu negative film John Hendri Fox Talbot dari inggris. Negatif film tersebut di buat selama 40 detik dibawah terik matahari.

Komunikasi Antar Personal

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara individu-individu (Littlejohn, 1999).
Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, seorang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya.
Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss (dalam Deddy Mulyana, 2005) mengatakan ciri-ciri komunikasi diadik adalah:
· Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat;
· Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal.
Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima lat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi tercanggihpun.
Jalaludin Rakhmat (1994) meyakini bahwa komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh persepsi interpersonal; konsep diri; atraksi interpersonal; dan hubungan interpersonal.
Persepsi interpersonal
Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi, atau menafsirkan informasi inderawi. Persepi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari seseorang(komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Kecermatan dalam persepsi interpersonal akan berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi, seorang peserta komunikasi yang salah memberi makna terhadap pesan akan mengakibat kegagalan komunikasi.
Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: a. Yakin akan kemampuan mengatasi masalah; b. Merasa stara dengan orang lain; c. Menerima pujian tanpa rasa malu; d. Menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:
1. Nubuat yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari materi kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik.
2. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.
3. Percaya diri. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Untuk menumbuhkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu.
4. Selektivitas. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif), dan apa yang kita ingat (ingatan selektif). Selain itu konsep diri juga berpengaruh dalam penyandian pesan (penyandian selektif).
Atraksi interpersonal
Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Komunkasi antarpribadi dipengaruhi atraksi interpersonal dalam hal:
1. Penafsiran pesan dan penilaian. Pendapat dan penilaian kita terhadap orang lain tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional, kita juga makhluk emosional. Karena itu, ketika kita menyenangi seseorang, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengan dia secara positif. Sebaliknya, jika membencinya, kita cenderung melihat karakteristiknya secara negatif.
2. Efektivitas komunikasi. Komunikasi antarpribadi dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Bila kita berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan dengan kita, kita akan gembira dan terbuka. Bila berkumpul dengan denganorang-orang yang kita benci akan membuat kita tegang, resah, dan tidak enak. Kita akan menutup diri dan menghindari komunikasi.
Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan derajad keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi. Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication, menyatakan bahwa ”Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.”
Lebih jauh, Jalaludin Rakhmat (1994) memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: a. Percaya; b. sikap suportif; dan c. sikap terbuka.

Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-anak

Tayangan kekerasan juga berpengaruh terhadap pola prilaku anak. beberapa efek yang di timbulkan oleh tayangan ini di antaranya sebagai berikut:
a.      Jadi Agresor dan Tak Pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
 
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
 
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
 
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
 
b.     Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
 
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
 
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
 
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
 
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
 
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
 
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.
 
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
 
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain," ujar Singer.
 
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.
 
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.
 
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
 
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
 
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
 
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."
 
Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?
 
c.      Orang Tua Contoh Model Anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
 
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
 
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
 
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".
 
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
 
d.     Waktu Ideal Untuk Anak-Anak Menonton TV
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
 
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
 
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
 
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.
 
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat

Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya tayangan kekerasan di televisi dewasa ini seperti SERGAP di RCTI, PATROLI di Indosiar dan SIDIK di TPI merupakan fenomena baru dalam tayangan televisi di Indonesia. Dalam format tayangannya, program siaran berbau kekerasan tersebut mewabah ke stasiun televisi lainnya. Bahkan TPI yang mengusung misi sebagai televisi pendidikan juga turut membuat format tayangan ini. Awalnya menurut Indira Hadi Purnama pemimpin redaksi Patroli Indosiar tujuan program Patroli milik statsiun televisinya untuk menghilangkan jenuh masyarakat (komunikan). Kejenuhan masyarakat selama ini yang selalu di sodorkan dengan berita-berita politik ini yang di sebut Indira sebagai proses pembaharuan program tayangan dan mencuri pasar media.
Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita politik membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara tidak langsung berharap agar stasiuntelevisi kreative dan melahirkan program siaran yang baru. Maka, Indira memilih untuk membuat tayangan Patroli dengan mengedepankan berita-berota kriminal. Tayangan ini sendiri di liput secara langsung oleh wartawan stasiun televisi tersebut. Hubungan antara aparat kepolisian dan wartawan yang di tempatkan dalam desk berita kriminal sejauh ini sangat harmonis. Setiap kali akan melakukan penangkapan, polisi akan memberitahukan kepada wartawan. Dalam tayangannya, seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh Polisi. Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan menembak pelaku tersebut. Seluruh proses penggerebekan, pengejaran dan penembakan pelaku kriminal ini di rekam oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak jarang bercak darah bekas penembakan terlihat jelas oleh masyarakat sebagai penonton setia tayangan tersebut. Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung seperti ini dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12 yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini semakin berkembang di Indonesia. Sedikitnya delapan program televisi bertema kriminalitas, dengan berbagai nama program, ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya. Bukan hanya itu, tayangan kekerasan lainnya seperti Smack Down di LatiVi juga merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan yang di tampilkan oleh media massa di Indonesia. Tayangan Smack Down sendiri awalnya tahun 2000 telah di siarkan oleh stasiun televisi TPI.
Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas, di samping infotainment dan tayangan bertema klenik-supranatural, menjadi primadona dengan menempati ranking-ranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak. Mencermati fenomena ini, jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada masyarakat. Pengakuan seorang Pelaku Pencurian Kendaraan bermotor di SelamanYigyakakarta kepada Indira Pemimpin Redaksi Patroli Indosiar menyebutkan dirinya menggunakan motiv operandi yang di siarkan oleh Patroli menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat di bantahkan oleh siapapun. Kenyataan ini lah yang membuat risau masyarakat di seluruh Indonesia terhadap tayangan kekerasan tersebut.
Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun, media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau repot-repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan orang tua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara "keras".
Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton. Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini yang harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi, sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi (berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak ada ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak mencerdaskan.
Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-banyaknya. Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia kini baru sebatas organisasi yang terdiri dari elite-elite media dan akademisi pemerhati media. Di masa depan, organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal. Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar rumput dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme global industri media massa saat ini, di mana materi menjadi penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau informasi apa pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan penonton.

Hubungan Media Massa dan Masyarakat

Hubungan media massa dengan masyarakat telah di bahas dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Pertama, hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah perkembangan setiap media massa dalam masyarakat sendiri. Pola hubungan tersebut merupakan hasil refleksi sejarah yang di perkirakan turut berperan dalam perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya persamaan dari beberapa institusi media pada semua masyarakat, pada awalnya media juga menerapkan kegiatan dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh institutasi nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun memenuhi harapan khalayaknya. Media mencerminkan, menyajikan dan kadangkala berperan serta secara aktif untuk memenuhi kepentingan nasional yang di tentukan oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat.
Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan para anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh penguasa, merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang berkesinambungan. Ketiga,  sebagai suatu institusi yang di perlukan bagi kesinambungan sistem sosial masyarakat industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan lainnya, dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif ini di sebutkan harapan masyarakat terhadap media dan peran yang seharusnya di mainkan oleh media. Hal ini di karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media massa berperan untuk membuat rasa nyaman terhdap publik atau komunikannya. Jika, masyarakat mulai tidak suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi maka televisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami “miskin” pendapatan. Pendapatan televisi terbesar di peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut. Sebut saja misalnya, sebuah perusahaan akan mengiklankan produknya di salah satu stasiun televisi. Jika rating program yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun televisi lainnya yang memiliki penonton dengan jumlah besar.
 

Hubungan Media Massa dan Masyarakat

Hubungan media massa dengan masyarakat telah di bahas dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Pertama, hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah perkembangan setiap media massa dalam masyarakat sendiri. Pola hubungan tersebut merupakan hasil refleksi sejarah yang di perkirakan turut berperan dalam perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya persamaan dari beberapa institusi media pada semua masyarakat, pada awalnya media juga menerapkan kegiatan dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh institutasi nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun memenuhi harapan khalayaknya. Media mencerminkan, menyajikan dan kadangkala berperan serta secara aktif untuk memenuhi kepentingan nasional yang di tentukan oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat.
Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan para anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh penguasa, merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang berkesinambungan. Ketiga,  sebagai suatu institusi yang di perlukan bagi kesinambungan sistem sosial masyarakat industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan lainnya, dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif ini di sebutkan harapan masyarakat terhadap media dan peran yang seharusnya di mainkan oleh media. Hal ini di karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media massa berperan untuk membuat rasa nyaman terhdap publik atau komunikannya. Jika, masyarakat mulai tidak suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi maka televisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami “miskin” pendapatan. Pendapatan televisi terbesar di peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut. Sebut saja misalnya, sebuah perusahaan akan mengiklankan produknya di salah satu stasiun televisi. Jika rating program yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun televisi lainnya yang memiliki penonton dengan jumlah besar.
 

PeRan KomunikaSi Massa

perkembangan Komunikasi Massa berawal dari Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1946 di gedung Perguruan Tinggi Hunter New York Amerika Serikat. Agenda sidang organisasi terbesar di dunia itu adalah membahas kelangsungan keamanan dunia paska Perang Dunia II.  Dari sidang itulah Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa di perkenalkan. Ribuan pengamat politik, pers dan masyarakat biasa dapat menyaksikan sidang penting itu melalui Televisi dari luar gedung yang di jaga ketat oleh aparat keamanan Amerika.
 
Sejak saat itu, Televisi mulai berkembang ke seluruh penjuru dunia. Amerika Serikat merupakan Negara pertama yang mengembangkan teknologi Televisi secara besar-besaran. Bahkan pada tahun 2003 di Negara tersebut, tidak kurang 750 stasiun siaran Televisi telah di dirikan. Jumlah ini pasti lebih di tahun 2007. Dewasa ini Televisi telah menjadi salah satu kebutuhan hidup masyarakat. Hampir di seluruh rumah-rumah penduduk baik di Indonesia maupun di Negara lainnya, telah terdapat Televisi. Ini menunjukkan televisi telah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia.
 
Sedangkan di Indonesia sendiri, Televisi baru di perkenalkan pada tahun 1962. Sebagaimana pola komunikasi lainnya, komunikasi massa dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan ini dapat di lihat dari jumlah stasiun televisi dan program siaran yang di tawarkan ke publik. Dahulu pada awalnya, Indonesia hanya memiliki satu stasiun Televisi, saat itu hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang memancarkan siaran. Untuk Indonesia, paska di cabutnya SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) tahun 1998, negeri ini telah memiliki sepuluh stasiun siaran televisi baik swasta dan pemerintah.
 
Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual juga di tampakkan dengan semakin menariknya tayangan yang di sajikan. Bukan itu saja, program siarannya pun kini semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan dan dari siaran yang mengandung nilai humor sampai ke siaran yang mengandung kekerasa. Semuanya di rangkum oleh televisi kita saat ini.
 
Semakin banyaknya stasiun Televisi yang bermunculan di Indonesia maka seharusnya semakin maju pula negeri ini. Hal ini di karenakan, menurut R. Mar’at dari Universitas Padjadjaran Bandung, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan rasa penasaran para penonton. Kemampuan media Televisi untuk “membius” penontonnya tidak dapat di ragukan. Secara psikologi, jika ada seseorang yang terharu, menangis atau bahkan menjerit saat menonton salah satu program televisi yang di siarkan adalah hal yang wajar.
 
Persaingan antar stasiun televisi sendiri di Indonesia semakin ketat. Semua stasiun Televisi berlomba-lomba untuk membuat program unggulan yang sedang di minati oleh masyarakat. Tujuannya, agar para pemasang iklan juga mengiklankan produk mereka di stasiun televisi tersebut. Stasiun Televisi jika tidak memiliki penonton, alamat station tersebut tidak akan mendapatkan iklan. Akibatnya, tidak akan ada pemasukan perusahaan. Bahkan tidak jarang, jika telah mengalami penurunan jumlah pemasang iklan, perusahaan Televisi akan meniru program yang di tayangkan oleh salah satu Televisi yang sedang naik daun. Inilah wajah pertelevisian di Indonesia. Kantong perusahaan menjadi nomor satu. Sedangkan program siaran dan efeknya menjadi samar dengan tujuan awal dari perusahaan Televisi di negeri ini. Secara umum semua Televisi di negeri ini bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga terdapat dalam batang tubuh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
 
Namun, fakta berbicara lain. Untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana prinsip ekonomi, perusahaan Televisi mulai melupakan tujuan utamanya. Tayangan kekerasan mulai marak di siarkan di Indonesia. Seluruh stasiun Televisi memiliki program acara jenis ini. Misalnya, program siaran PATROLI di Indosiar, Silet di RCTI dan lain sebagainya. Meningkatnya angka kriminalitas dewasa ini cendrung di tuding televisilah sebagai biangkeroknya. Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggem-parkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak. Kasus lainnya adalah pengakuan produser PATROLI Indosiar, Indira Purnama Hadi. Indira bertutur, suatu hari dirinya mewawancarai pelaku pencurian kendaraan bermotor di Sleman, Yogyakarta. Usia pelaku kriminal itu masih sangat muda, sekitar 17 tahun. Dalam sehari pria ini bisa mencuri satu sampai dua kendaraan bermotor. Lalu, si pelaku tindak pencurian ini mengaku, untuk mencuri dia mengikuti jejak dari tayangan Patroli Indosiar.
 
Lalu inikah yang di sebut mendidik dari siaran Televisi? Bukan hanya itu, prubahan pola tingkah laku remaja saat ini, juga di kait-kaitkan dengan tayangan televise. Artinya, banyak kalangan menilai televise mampu merubah budaya (culture) dan perilaku manusia. Benarkah ini?
 
Setiap manusia pada hakikatnya sangat membutuhkan komunikasi. Hal ini di karenakan, manusia memiliki sifat untuk saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Jika tidak menggunakan komunikasi antar sesamanya, maka manusia itu akan terisolasi dari dunia yang semakin canggih dan modern ini. Para pakar komunikasi menyebutkan, kebutuhan manusia untuk berkomunikasi di dasari atas dua kebutuhan, yaitu, kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan teori dasar biologi.
Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar Ilmu Komunikasi menyebutkan tiga hal, mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu sebagai berikut:
1.      Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi, manusia dapat mengetahui hal-hal yang dapat di manfaatkan, di pelihara dan di menghindar dari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya.
2.      Upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan hidup masyarakat pada dasarnya, tergantung masyarakat itu sendiri. Bagaimana komunitas-komunitas masyarakat di suatu daerah tertentu beradaptasi dengan lingkungannya.
3.      Upaya untuk mentranspormasi warisan sosial. Suatu masyarakat yang ingin melangsungkan hidupnya, maka akan melakukan upaya transpormasi sosial terhadap generasi penerusnya. Misalnya, bagaimana seorang Ayah mengajarkan tatakrama terhadap anaknya.
 Secara sederhana, Onong Uchjana Efendi menyebutkan komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu. Sementara itu, sebagai salah satu cabang ilmu sosial, Ilmu Komunikasi juga terbagi ke dalam beberapa kajian ilmu lagi. Pembagian ini mengingat keterbatasan manusia untuk menguasai seluruh bidang ilmu. Komunikasi juga mengklasifikasikan diri kedalam Komunikasi Massa, Komunikasi Politik, Komunikasi Antar Budaya dan lain sebagainya.
Komunikasi Massa sendiri menurut Tan dan Wright, merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu.  Secara sederhana, komunikasi massa adalah pesan yang di komunikasikan melalui media massa kepada khalayak dalam jumlah besar.
Dari definisi di atas, dapat di simpulkan, bahwa komunikasi massa harus di menggunakan media massa. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci di rumuskan oleh Gerber (1967). Menurutnya, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan pada lembaga dan berkelanjutan serta di sampaikan secara luas.
Ciri-ciri Utama Komunikasi Massa
Ciri utama komunikasi massa terletak pada beberapa hal sebagai berikut:
1.     Komunikator Terlembaga
Ciri ini adalah komunikator (penyampai pesan), dalam komunikasi massa komunikator bukanlah personal. Namun, lembaga yang menyampaikan pesan tersebut. Lembaga penyampai pesan komunikasi massa ini adalah media massa itu sendiri, seperti televisi, surat kabar dan radio. Semua media itu bekerja terlembaga. Misalnya, sebuah program tayangan televisi seperti Sergap di RCTI maka terjadinya proses kerja lembaga dalam proses penyajian program tersebut kepda masyarakat. Program itu berawal dari rancangan liputan yang di lakukan oleh wartawan, kemudia wartawan mengirimkan atau menyetorkan hasil liputannya kepada redaktur media tersebut. Redaktur akan mengedit kembali gambar dan tata bahasa yang di gunakan wartawannya. Setelah semuanya berlangsung sesuai prosedur, berita tersebut akan di serahkan ke bagian teknisi untuk di tampilkan ke layar televisi. Skrip berita itu tentunya akan di berikan kepada pembaca berita (presenter). Seluruh proses itu bukan di lakukan secara personal, namun di lakukan oleh tim atau banyak orang. Sehingga di sebutlah komunikator dalam komunikasi massa terlembaga.
2.     Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa bersifat terbuka. Hal ini di karenakan, komunikan tersebar di berbegai tempat. Selain itu, pesan bersifat umum maksudnya adalah pesan-pesan yang di sampaikan oleh komunikator di tujukan oleh masyarakat luas atau masyarakat umum. Tidak ada klasifikasi pesan, misalnya di khususkan untuk masyarakat di Pulau Jawa dan lain sebagainya. Meskipun demikian, pesan yang di sampaikan melalui komunikasi massa harus melalui tahap seleksi terlebih dahulu. Pesan itu sendiri dapat berupa peristiwa, fakta dan opini. Namun, tidak semua pesan dapat di tayangkan atau di tampilkan melalui komunikasi massa. Tolak ukur pesan dalam komunikasi massa adalah adanya nilai (value) penting dan menarik di dalamnya. Bagi jurnalis atau wartawan ini di sebut sebagai nilai-nilai berita. Nilai penting dan menarik itu sendiri sangat relatif. Semua itu tergantung bagaimana peristiwa, opini dan fakta tersebut penting di ketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakt tertarik untuk menonton tayangan tersebut. Pada akhirnya, masyarakat tidak akan meninggalkan saluran media komunikasi massa tersebut dan berpindah ke saluran (channel) lainnya.
3.     Komunikan Heterogen
Komunikan atau penerima informasi dalam komunikasi massa bersifat heterogen. Hal ini di karenakan, komunikasi massa menyampaikan pesan secara umum pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan suku, ras dan usia. Masyarakat yang menerima pesan ini beragam karakter psikologi, usia, tempat tinggal, adat budaya, strata sosial dan agamanya.
4.     Media Massa bersifat  Keserempakan
Komunikasi massa bersifat keserempakan. Dalam hal ini, keserempakan yang di maksud adalah tayangan atau program siaran di sampaikan secara serempak. Misalnya, sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih di RCTI di terima secara serempak oleh seluruh masyarakat Indonesia.
5.     Pesan yang di sampaikan satu arah
Dalam komunikasi massa pesan yang di sampaikan oleh komunikator bersifat satu arah. Tidak terjadi interaksi antara komunikator dan komunikan dalam sebuah program siaran. Dewasa ini, sifat satu arah ini lebih dominan dari pada sifat interaksi. Meskipun, pada program khusus, kemungkinan interaksi masih terbuka bebas. Misalnya, program Talk Show, bedah editorial Media Indonesia di Metro TV dan lain sebagainya.
 
6.     Umpan Balik Tertunda (Delayed feed back)
Umpan balik merupakan wujud respon komunikan dari pesan yang di sampaikan oleh komunikator. Umpan balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda, dalam arti umpan balik yang di sampaikan oleh komunikan tidak langsung di terima oleh komunikator. Misalnya, sebuah tayangan kekerasan di siarkan oleh salah satu stasiun televisi di Indonesia. Dalam psikologi di sebutkan, respon yang di terima masyarakat terdiri dari mendukung atau menolak tayangan tersebut. Pro dan kontra ini tidak dapat di sampaikan secara langsung saat program tayangan kekerasan tersebut sedang di siarkan. Butuh waktu untuk menyampaikan pesan. Penyampaian pesan ini dapat berupa kritik terhadap tayangan tersebut melalui surat pembaca di media massa dan lain sebagainya.
Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa awalnya di cetuskan oleh Laswell pada tahun 1948. Tokoh ilmu Komunikasi yang mendalami Komunikasi Politik ini menyebutkan, fungsi komunikasi massa secara umum adalah untuk  pengawasan lingkungan hidup, pertalian dan transmisi warisan sosial.
Wright (1960) menyebutkan fungsi komunikasi massa berguna untuk menghibur. Mandelson berpendapat lain, dia menyebutkan fungsi komunikasi massa dalam hal untuk menghibur akan berpengaruh terhadap trasmisi budaya dan menjauhkan kerapuhan masyarakat. Media massa memiliki nilai edukasi sebagai salah satu fungsinya.
Dari dasar ide dan gagasan para ahli di atas, serangkaian fungsi komunikasi massa untuk masyarakat terdiri sebagai berikut:
1.      Informasi
Fungsi informasi terdiri dari sebagai berikut:
-          Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam amsyarakat dan dunia.
-          Menunjukkan hubungan kekuasaan
-          Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan.
2.      Korelasi
Fungsi korelasi terdiri dari sebagai berikut:
-          Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna dan informasi
-          Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan
-          Melakukan sosialisasi
-          Mengkoordinasikan beberapa kegiatan
-          Membentuk kesepakatan 
-          Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif
3.      Kesinambungan
Diantaranya terdiri dari:
-           Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru\
-          Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai
4.      Hiburan
Diantaranya terdiri dari:
-          Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi
-          Meredakan ketegangan sosial
5.      Mobilisasi
Diantaranya terdiri dari:
-          Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama.
Fungsi lain dari media massa juga di tinjau dari sudut pandang kepuasan indovidual. Hal ini menyangkut tentang kepuasaan individu terhadap tayangan yang di sajikan oleh media massa. Teori tentang kepuasaan atau di sebut dengan fungsionalisme individual ini di sebut Mc Quail sebagai salah satu fungsi media untuk kepentingan pribadi. Mc Quail menyebutkan fungsi media massa atau komunikasi massa untuk kepentingan pribadi sebagai berikut:
1.      Informasi
Diantaranya terdiri dari:
-          Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia.
-          Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalahpraktis, pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan.
-          Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum
-          Belajar atau pendidikan diri sendiri
-          Memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan
2.      Indentitas Pribadi
Diantaranya terdiri dari:
-          Menentukan penunjangan nilai-nilai pribadi
-          Menemukan model prilaku
-          Mengindentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media)
-          Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri
3.      Integrasi dan Interaksi Sosial
Dianataranya terdiri dari:
-          Memperoleh pengetahuan tentang diri orang lain atau empati sosial
-          Mengindentifikasi diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki
-          Menemukan bahan percakapan dalam interaksi sosial
-          Memperoleh teman selain dari manusia
-          Membantu menjalankan peran sosial
-          Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak-keluarga, teman dan masyarakat
4.      Hiburan
Diantaranya terdiri:
-          Melepaskan diri atau terpisah dari permasalahan
-          Bersantai
-          Memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis
-          Mengisi waktu
-          Penyaluran emosi
-          Membangkitkan gairah seks
Teori Komunikasi Massa
Efek komunikasi massa telah lama di perbincangkan dalam khasanah kajian Ilmu Komunikasi. Bahkan, efek ini di kaji secara ilmiah oleh para pemikir atau ilmuan komunikasi. Salah satunya yang membahas tentang efek media adalah wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-pesan komunikasi massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama sekali. Artinya, komunikan sangat terbius oleh suntikan pesan yang di sampaikan media massa. Suntikan pesan ini masuk ke dalam saraf dan otak serta melakukan tindakan sesuai dengan pesan komunikasi massa tersebut. Pendapatn Schramm di dukung oleh Paul Lazarzfeld dan Raymond Bauer.
Teori lain yang berbicara tentang efek media massa terhadap publik atau khayaknya adalah teori agenda setting (teori penataan agenda). Teori milik Mc. Combs dan D.L. Shaw menyebutkan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media tersebut akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jika melihat argumen yang di kemukakan oleh dua pakar komunikasi ini maka, media cendrung membuat agenda tayangannya terhadap publik. Ini yang kemudian di kenal sebagai istilah manajemen media massa. Manajemen media massa sendiri terdiri dari bagaimana mengatur program siaran, proses membuat program tersebut dan lain sebagainya. Media di Indonesia tampaknya memang menganut teori yang satu ini. Dimana dalam kasus Tayangan Kekerasan semua media memiliki tayangan jenis ini dengan nama yang berbeda. Bukan hanya tayangan kekerasan berita yang di tampilkan seperti Patroli, Sergap, Sidik dan lain sebagainya. Namun, tayangan kekerasan lainnya seperti Smack Down dan tayangan sinetron berbau kekerasan turut  mendapat tempat di hati publik. Sinetron yang termasuk dalam tayangan kekerasan adalah Sinetron Anak Ajaib yang di perankan oleh Joshua.
Menyangkut terhadap perubahan budaya, media juga berperan penting. Sudah menjadi rahasia umum, media memiliki kemampuan yang luar biasa untuk merubah, menciptakan atau bahkan menghilangkan budaya. Budaya yang telah berkembang di tengah komunitas tertentu secara perlahan akibat terjangan media akan hilang dengan sendirinya. Ini yang tengah terjadi di Indonesia. Teori yang membahas masalah ini yaitu Teori Norma Budaya (cultural norms theory). Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini menyebutkan media massa melalui program tertentu dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya media massa menciptakan budaya baru dengan caranya sendiri. Penekanan media pada program siaran tertentu akan membuat masyarakat menganggap penting dan mengikuti tindakan-tindakan seperti yang di tampilkan di media tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah kasus Ny. Lia Marfiandi. Ibu muda ini terkejut saat melihat anaknya yang berusia delapan tahun memecahkan piring dan gelas secara tiba-tiba. Bahkan, sang anak tidak merajuk atau lain sebagainya. Sang anak ini mengaku melihat tampilan Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Sehingga, dia melakukan pemecahan piring, gelas dan pas bunga sambil tertawa terbahak-bahak.
 
C.    Budaya
Budaya  berasal dari kata budhi atau dalam bahasa sanksekerta buddayah yang berarti budi atau akal. Sedangkan kebudayaan (culture) yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan terutama dalam pengertian ini mengolah tanah atau bertani. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan berarti keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus di dapatnya dengan belajardan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Sidi Gazalba menyebutkan kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang atau suatu waktu.
Pakar antropologi lainnya R. Linton dalam buku the cultural background of personality  menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan perbuatan manusia, yang unsur-unsur pembentukannya dididukung serta di teruskan  oleh anggota masyarakat tertentu. Hal yang paling mudah di pahami tentang definisi kebudayaan di cetuskan oleh Melville J. Herkovits. Antropolog Amerika mendefinisikan kebudayaan adalah bagian dari lingkungan buatan manusia. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya dan kebudayaan di tafsirkan dengan arti pikiran atau akal.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat di rinci sebagai berikut:
1.      Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang di lakukan dan di hasilkan manusia. Karena itu meliputi :
a.       Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, seperti alat-alat perlengkapan hidup.
b.      Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat di lihat dan di raba sperti religi, bahsa dan ilmu pengetahuan.
2.      Bahwa kebudayaan itu tidak di wariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin di peroleh dengan cara belajar.
3.      Bahwa kebudayaan itu di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sulit bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kebudayaannya.
 

are_u mail. Design By: SkinCorner